Kurasakan diriku mengambang di udara dingin malam itu. Kusaksikan kuda-kuda kayu putih yang berada di komedi putar itu kini bergerak hidup, bahkan bersayap seperti Pegasus.
Komedi putar itu masih saja berputar. Kuda-kuda kayu yang naik turun dengan anak-anak riang di punggungnya itu, sungguh-sungguh menciptakan warna-warni kegembiraan kanak-kanak. Kusaksikan anakku berada di antara mereka dengan sebaris giginya yang putih bersih, menebarkan kegembiraan hatinya. Seolah dia inggin membagi suka dan melupakan duka. Mereka seakan berada di punggung kuda donggeng yang akan membawa mereka terbang ke awan-awan kebebasan tanpa batas.
Lampunya yang gemerlapan, silih berganti menerangi wajahku. Seolah mengoleskan nuansanya ke wajahku. Sesekali aku membalas lambaian tangan anakku yang tertawa riang yang tenggelam di antara alunan musik. Kepalaku terasa pening. Sesekali ku pijit keningku. Nina istriku berbisik menanyakanku apakah aku masih pusing, dan aku menjawab tak apa-apa. Nina Cuma menghela napas lalu kupandangi wajahnya, ia menatapku penuh dengan kekawahtiran. Kekhawatiran yang sama kurasakan ketika malam itu. Meskipun dalam situasi yang selalu siaga, dan tak punya kesempatan ”ngobrol”. Aku dan Trisno sempat berteman akrab, ternyata ia tak kuat bila melihat darah.
Di kesempatan lain ketika kami patroli di bercerita bahwa pacarnya sudah dipinang. Katanya bulan depan ia akan menikah, tapi karena ditugaskan jadi batal. Tahun lalu di tengah malam buta ia di bangunkan untuk berkemas selama lima menit.lalu duduk di truk yang telah siaga. Tanpa tau dia haru ke mana trisno telah membawa ransel dan senjata di punggungnya. Kemudian mereka tertidur di sebuak kolong jembatan dengan beralaskan triplek dan koran. Pagi harinya ia dan teman-teman dibangunkan oleh komandan karena ada bentrok mahasiswa yang membunuh semua rekannya dengan bom molotov. Dan Trisno pun akhirnya juga ikut meninggal sebelum merasakan bulan madu pernikahannya.
Pada pagi harinya kami kan melawan karena posisi kami terjepit jadi kami tidak dapat bergerak dengan bebas. Setelah insiden itu terjadi aku mulai sakit demam dan mual-mual. Tetapi kata dokter aku hanyalah butuh istirahat. Dan semua rekan-rekanku detahan oleh penjahat itu, sedangkan penjahat itu seperti pemain sinetron yang bisanya hanya berbohong ”aku berkata dalam hati, orang yang sempat hampir aku bantai ke tanah telah masuk televisi dan pantas mendapatkan piala OSKAR”.
Kemudian kami berjalan pulang dan menunggu kendaran yang akan membawa kami pulang. Akankah aku bisa pulang? Bisakah aku menjawb pertanyaan Malaikat kecilku ini?
Cerita lengkapnya baca di perpustakaan SMP Immaculata, Ok..!